Namun pandangan demikian agaknya cukup berbeda dengan mitos keperawanan di masyarakat terdahulu dimana moral dan martabat seorang perempuan tidak diukur dari keperawanannya. jika dilihat dari sejarah.
Kerajaan Baru Mesir (1570 SM dan 1544 SM). Keperawan bukanlah sesuatu yang dipandang suci dan harus dipertahankan sampai kejenjang pernikahan. Pada saat itu perempuan yang belum terikat pernikahan dapat melakukan hubungan seksual dengan siapa saja, akan tetapi ketika sudah menikah pasangan suami istri akan terikat dengan komitmen yang bersifat monogami, walaupun pologami dan poliandri pada saat itu juga hadir dalam budaya manusia bahkan hingga saat ini.
Dalam buku ‘Histories’ yang ditulis oleh Herodotus pada 430 SM di kisahkan bahwa kematangan seorang perempuan amazon dan Scythia terlebih dahulu harus diuji dengan membunuh seorang laki-laki dalam suatu pertempuran. Bagi yang berhasil ia akan menikah, sedangkan bagi yang kalah maka ia akan dianggap tidak perawan. Sama halnya dengan yang terdapat dibelahan bumi lain yakni pada festival Libya kuno, agaknya sedikit berbeda dengan tradisi amazon dan Scythia.
Herodotus menjelaskan bahwa untuk membuktikan keperawanan, dua kelompok perempuan akan bertarung sampai mati di atas kereta menggunakan tongkat dan batu. Perempuan yang menang di anggap masih perawan dan siap untuk menikah, namun yang meninggal akan diaggap tidak perawan.
Berbeda halnya dengan perspektif masyarakat yunani kuno tentang konstruk keperawanan. Menurut Hanna Blank, keperawanan pada masa yunani kuno dianggap sebagai sesuatu yang bernilai tinggi dan harus dijaga. Yang mana ketika anak gadis tersebut diketahui telah hilang keperawanannya maka ayahnya akan membunuh anak gadis tersebut.
Hal tersebut dikarenakan budaya yunani kuno memandang pernikahan sebagai kontrak hukum yang mengikat antara dua keluarga untuk memperoleh kekuasaan, reputasi, dan perdamaian. Tidak hanya itu, pada tahun 1200 disusun pula buku manual tentang rahasia perempuan yang judulnya De Secretis Mulierum. Buku tersebut dirancang untuk menjelaskan keperawan perempuan melalui tanda fisik tanpa harus memeriksa vagina.
Beberapa tanda yang tertulis di De Secretis Mulierum misalnya : gaya berjalan, ketakutan, kesederhanaan, malu, ucapan tanpa cacat, mengarahkan pandangan ke bawah di hadapan laki-laki, urin perawan terlihat jernih, kadang putih, kadang juga bekilau. Karena selaput darah dipandang penting maka pemeriksaan sering dilakukan oleh para doctor di jaman kuno.
Pada tahun 1625, dokter kandungan menjadi profesi yang sangat lazim dan bahkan pemeriksaan alat kelamin perempuan mulai sering dilakukan dan hal tersebut masih dianggap sebagai tindakan yang kurang terhormat. Selanjutnya pada tahun 1810 Prancis melegalkan prostitusi dan undang-undang yang memberikan syarat bahwa pelacur memerlukan pemeriksaan spekulum untuk mengidentifikasi apakah ia memiliki penyakit kelamin. Dari zaman yunani kuno hingga dimasa sekarang terdapat banyak sekali metode dan cara yang digunakan untuk mengidentifikasi apakah seorang perempuan masih perawan atau tidak. Beragam konstruk dari wilayah dan zaman yang berbeda-beda menunjukkan bahwasanya kegandrungan dan obesesi masyarakat terhadap tubuh perempuan yang kerap kali hanya dijadikan sebagai objek (benda) yang memiliki beragam fungsi pula. Mulai dari sebagai media produksi, objek seksual, penghasil keturunan, dsb.
Bagaimana Asal Muasal Nalar Keperawanan itu Lahir?
Asal mula lahirnya keperawanan ialah tepat ketika patriarkisme lahir yang diiringi dengan produksi massal dan konsep kepemilikan secara paternal atau secara garis besar ialah yang berada pada garis keturunan ayah. Dimasa lampau belum ada tes paternitas untuk mengetahui apakah anak yang dikandung oleh seorang istri merupakan anak sah dari suaminya.
Tes paternitas ini bertujuan untuk menjaga harta sekaligus kesejahteraan suami dalam suatu keluarga. Hal ini kemudian menjadi sebuah anekdot. Dimana didalamnya terjadi sebuah dinamika yang bersifat harus menguntungkan atau menghasilkan kekayaan, maka dari itu dibuatlah serangkaian prosedur medis untuk memastikan dan menentukan apakah perempuan yang kedepannya akan menjadi seorang istri masih perawan atau tidak.
Bahkan dibebera negara memiliki test keperawanan yang berujung pada kekerasan dan ketertindasan perempuan. Yang menjadi center pointnya adalah sejarah mengenai keperawanan ini menunjukkan bahwa perempuan telah ditetapkan dan dipandang sebagai objek (benda) milik laki-laki. Yang kemudian konstruk terkait keperawanan ini dilembagakan dan menjadi peraturan bagi beberapa negara tertentu.
Hal tersebut dapat dilihat dari adanya tes-tes keperawanan untuk mendaftar masuk ke institusi tertentu ataupun hukuman yang sangat tidak manusiawi bagi perempuan-perempuan yang aktif melakukan hubungan seksual diluar pernikahan. Stigma terkait konsep keperawanan menunjukkan bahwa penindasan berbasis gender itu nyata adanya dan karena lahirnya persepsi bias gender yang membentuk perempuan (istri) adalah milik laki-laki (suami), mengakibatkan perempuan bukan sebagai subjek yang merdeka dan memiliki kebebasan atas dirinya.
Opini: Andi Tenri Wuleng, Mahasiswi S1 Prodi Hubungan Internasional UIN Alauddin Makassar dan Ketua Kopri Rayon Ushuluddin Filsafat.