Dewasa ini, perempuan kerap dibuat tidak nyaman dengan beragam istilah bernada jorok yang ditujukan untuk mendeskripsikan bagian tubuhnya.
Tulisan ini bersifat eksplisit, beberapa bagian dapat menimbulkan trauma dan ketidaknyamanan pembaca.
KENDARI, SULTRAINFORMASI.ID – Rina Utari geram seusai mengetahui arti dari istilah “Tobrut (Toket Brutal)” yang kerapkali ia dengar.
“Jangan pandang cewek itu sebagai pemuas nafsu,” tegasnya.
Malam itu, Minggu (01/09/2024), Tari sapaan akrabnya, seharusnya beristirahat lebih awal untuk menghadiri panggilan interview kerja di salah satu perusahaan di Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara keesokan harinya.
Harapannya untuk segera tidur pupus. Amarah terlebih dahulu membakarnya sebelum kantuk datang.
Penggunaan istilah “Tobrut” memang tak asing di telinga perempuan 23 tahun itu. Hanya saja, ia sama sekali tak mendapat informasi mengenai penjelasan istilah itu.
Tobrut sendiri berupa akronim untuk menggambarkan kondisi payudara yang dinilai memiliki ukuran yang sedikit lebih besar dari ukuran rata-rata perempuan.
“Asli saya tidak tahu bahasa itu (tobrut),” ujar Tari geram, “Tidak tahu, tidak pernah nongkrong sama cowok-cowok begitu,” sambungnya.
Sebagai perempuan, ia termasuk salah satu yang beruntung belum pernah mendapat ujaran seperti itu, setidaknya yang ia dengarkan secara langsung terhadap dirinya.
Meski begitu, amarah tetap meliputi dirinya, terlebih sejak ia mengetahui arti dari istilah itu.
“Untuk saya pribadi kalau dibilang begitu marah, risih dengarnya,” tegas Tari.
“Kayak, sekarang perempuan malah tidak ada harga dirinya dipandang laki-laki,” lanjutnya.
Tari sendiri merupakan seorang perempuan yang kesehariannya dihabiskan untuk bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta.
Kini, ia telah mengakhiri kontraknya dan tengah berjuang mendapatkan pekerjaan di tempat yang baru.
Dianggap Lumrah
Nadilla Nurul Utami merasakan hal yang sama. Perempuan 21 tahun itu turut geram dengan maraknya penggunaan istilah “Tobrut”.
“Marah,” ujarnya.
“Istilah itu merendahkan, menjadikan perempuan sebagai objek seksual,” lanjutnya.
Dila, sapaan akrabnya, merupakan perempuan yang memiliki segudang aktivitas di ruang publik.
Meski belum pernah mendapat ujaran demikian, akttivitas yang banyak ia lakukan di ruang publik itu membuatnya juga rentan.
Ia awalnya tak acuh. Hanya saja, ujaran-ujaran itu semakin sering ia dengar, bahkan dianggap lumrah sebagai candaan.
“Kayak dinormalisasikan itu bahasa,” ungkapnya. Sebagai perempuan, Dila kini merasa tak aman berada di ruang publik.
Ia sebenarnya paham benar mengenai istilah itu. Ia tak kaget, namun tak juga memaklumi.
Meski ia menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian. Ia menyadari, ada hal yang sama sekali tidak bisa ia kendalikan.
“Istilah-istilah merendahkan mungkin sudah menjadi bagian dari norma sosial yang tidak dipertanyakan, sehingga perilaku semacam ini diterima sebagai hal yang biasa,” jelasnya.
Dianggap Candaan
Sejak munculnya istilah “Tobrut”, Sarah menyadari ada yang salah. Seperti bom waktu, kemarahannya kini meledak-ledak.
“Sedikit-sedikit tobrut,” katanya, “Terus kenapa kalau besar payudaranya perempuan?”
Sarah adalah satu dari sekian banyak perempuan yang mendapat ujaran demikian. Ia mencoba mengingat kembali pengalaman itu.
“Pernah, temanku sendiri lagi di tongkrongan,” ujarnya.
Baginya, itu sangat menyebalkan. Terlebih, sebagai teman dekat, ujaran-ujaran demikian dianggap mereka sebagai sebuah candaan belaka. Melawan pun tak membuat pelaku berhenti.
“Padahal becanda ji” kata Sarah, menirukan reaksi teman-temannya.
“Sa cuma bilang otaknya kalian memang otak mesum. Kentara sekali nda sekolah,” lanjutnya.
Sejak saat itu, ujaran itu tak pernah luput lagi dari pendengarannya. Bagi Sarah, melawan berarti siap berhadapan dengan kesia-siaan.
Istilah “Tobrut” di Masyarakat
Tari, Dila, dan Sarah paham benar dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan istilah “Tobrut”. Istilah itu rupanya tak hanya ditemukan di kehidupan nyata saja, melainkan juga di ruang maya.
“Di media sosial Tiktok,” sebut Dila, menunjukan kolom komentar yang berisi respons bernuansa jorok terhadap konten perempuan yang sedang menari.
Fenomena semacam ini bukanlah yang pertama kali. Sebelumnya, kita pasti sudah sangat familiar dengan kehadiran beragam frasa serupa, seperti “Ada yang menonjol tapi bukan bakat”, dan banyak lainnya.
Keseluruhan frasa itu memiliki satu tujuan, yakni mencoba mendeskripsikan bagian tubuh perempuan.
Di Kota Kendari sendiri, penggunaan istilah itu semakin marak. Kami menyambangi sejumlah ruang publik dan selalu saja mendapati ujaran tersebut.
Misalnya, saat seorang perempuan tengah melintas, sejumlah kelompok laki-laki secara spontan melontarkan istilah itu.
Beberapa mengatakan, istilah itu diujarkan lantaran perempuan itu mengenakan pakaian yang sedikit terbuka.
Namun, anggapan itu lebur. Kata Sarah, meski telah menggunakan pakaian tertutup, ia masih mendapat ujaran demikian.
“Saya risih. Padahal kita sudah tutupi juga dada, tapi masih dilihat negatif sama orang otak mesum,” ujarnya.
Kehadiran istilah demikian semakin menguatkan, bahwa masyarakat masih memandang perempuan dari aspek ketubuhan semata, alih-alih ide dan gagasannya sebagai manusia.
Ketiganya sudah tak asing dengan istilah itu. Hanya saja, tak ada cara efektif untuk melawan sejauh ini.
Beragam alasan kian bermunculan. Yang paling parah adalah saat istilah itu dinormalisasi dan dianggap sebagai sebuah candaan.
“Selama ada itu istilah tobrut sumpah kayak tidak ada sekali mi harga dirinya perempuan,” kata Sarah.
Upaya Pemerintah Tangani Kasus Pelecehan Seksual
Penggunaan istilah “Tobrut” kini dinormalisasi dan kerapkali dianggap sebagai sebuah candaan sehingga mudah diterima masyarakat.
Anggapan demikian yang membuat para pelaku merasa terlindungi. Padahal, penggunaan istilah “Tobrut” sendiri merupakan salah satu dari bentuk pelecehan seksual non fisik.
Hal itu ditegaskan Komisioner Komnas Perempuan, Ketua Sub Komisi Pendidikan, Alimatul Qibtiyah, beberapa waktu lalu dilansir dari KumparanWOMAN.
Kata Alim sapaannya, pelabelan istilah “Tobrut” dilekatkan kepada perempuan yang memiliki ukuran payudara lebih besar dari ukuran rata-rata dengan tujuan menggambarkan kondisi fisiknya.
“Itu masuk kategori kekerasan seksual non-fisik karena kita melakukan penyerangan atau merendahkan tampilan fisik seseorang karena dianggap tidak sesuai dengan standar tertentu,” jelasnya.
Meski dianggap sebagai candaan oleh sebagian besar masyarakat, dampaknya tidaklah remeh. Beberapa masalah bisa saja hadir, mulai dari gangguan psikologis, kurangnya rasa percaya diri, hingga dalam kasus yang lebih serius, adanya keinginan untuk bunuh diri.
Kabar baiknya, fenomena ini turut menjadi perhatian pemerintah melalui Undang-undang (UU) Pasal 5 Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
Isi pasal tersebut adalah: Setiap orang yang melakukan perbuatan seksual secara non-fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual non-fisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Meski telah ada aturan yang secara tegas melarang penggunaan istilah “Tobrut”, masalah rupanya tak spontan terselesaikan.
Budaya patriarki yang kian mapan dan minimnya pemahaman tentang eksistensi perempuan menjadikannya semakin kompleks, lalu bagaimana langkah selanjutnya?
Tulisan: Naufal Fajrin JN (Sultra Informasi)