KENDARI, SULTRAINFORMASI.ID – Perkara dugaan korupsi anggaran di Sekretariat Daerah (Setda) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) kini terus bergulir hingga memasuki sidang keenam, beragendakan pembuktian yakni pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Kendari.
Para terdakwa dalam perkara digas korupsi ini yakni mantan Sekda Kota Kendari, Nahwa Umar. Eks bendahara pengeluaran Bagian Umum Setda Kota Kendari, Ariyuli Ningsih Lindoeno dan stafnya Muchlis.
Ketiga terdakwa ini oleh JPU, didakwa telah melakukan dugaan korupsi untuk lima pos kegiatan yang merugikan keuangan negara sebesar Rp444 juta.
Lima pos kegiatan itu adalah penyediaan jasa komunikasi, air dan listrik, percetakan dan penggandaan, makan dan minum, serta pemeliharaan dan perizinan kendaraan dinas di Setda Pemkot Kendari.
Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim PN Tipikor Kendari, Arya Putra Negara Kutawaringin itu, telah memeriksa 24 saksi, yang sebagai besar merupakan ASN Pemkot Kendari.
Kuasa hukum terdakwa Nahwa Umar, Muswanto Utama mengatakan, dari seluruh fakta sidang, membuktikan eks Sekda Kota Kendari jauh dari dakwaan jaksa.
“Sebab, dari keseluruhan saksi, tidak ada yang menyebut peran sekda (Nahwa Umar), ataupun niatan untuk menyalahi aturan,” kata Muswanto, Rabu (2/7/2025).
Hal itu terbukti lewat keterangan mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Kendari, Farida Agustina Muhsin, pada sidang Kamis (26/06/2025).
Farida mengatakan, sekda berhak menggunakan anggaran makan dan minum untuk nomenklatur Sekretariat sebagaimana tercantum di dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
“Karena sekda dan 4 stafnya adalah ASN di sekretariat Kota Kendari. Jadi, boleh menggunakan anggaran makan dan minum,” tegas Farida.
Kesaksian yang sama diterangkan Jahuddin, mantan Kabag Umum Kota Kendari 2020. Meski keterangannya sempat berubah-ubah usai dicecar kuasa hukum para terdakwa dan hakim.
Ketika ditanya oleh terdakwa Nahwa Umar terkait boleh tidaknya menggunakan anggaran makan dan minum bersama empat stafnya termasuk supir. Jahuddin membenarkan. “Boleh, karena bagian dari pegawai (ASN) lingkup sekretariat,” tegasnya.
Manipulasi Dokumen
Selain itu, dalam persidangan pada (24/6/2025), saksi Hardiana selaku Kasubag Rumah Tangga Bagian Umum Setda Kota Kendari mengakui membuat surat pertanggung jawaban (SPJ) fiktif.
“Semua SPJ fiktif adalah inisiatif saya, tidak pernah ada perintah apapun dari sekda waktu itu dan tanpa sepengetahuan sekda,” ujar Hardiana.
Saat ditunjukkan barang bukti salinan nota belanja makan dan minum Nahwa Umar. Ia mengajukan seluruhnya adalah fiktif.
Tak hanya itu, tim kuasa hukum terdakwa Nahwa Umar juga berhasil membongkar sejumlah rekayasa dokumen barang bukti. Salah satunya adalah surat keputusan (SK) Wali Kota Kendari Nomor 679 terkait pengangkatan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Dalam SK tersebut, Sulkarnain Kadir-Wali Kota Kendari 2020 lalu, menunjuk Agus Salim sebagai KPA. Sementara Nahwa Umar sebagai sekda, ex officio sebagai Pengguna Anggaran (PA).
Dalam fakta sidang, alat bukti surat yang dipegang JPU berupa kwitansi pihak ketiga, terdapat tanda tangan Agus Salim di kolom KPA pada bulan 7 dan 8.
“Bagi kami itu janggal. SK-nya bulan 10, tapi terdapat tanda tangan Agus Salim di kolom KPA pada bulan 7 dan 8. Jauh, sebelumnya SK diterbitkan,” kata Muswanto.
Tak sampai di situ, dokumen SK 679 itu ternyata bukan dokumen asli, melainkan salinan yang dilegalisir. Hakim meminta jaksa menunjukkan SK yang asli, namun tak bisa dihadirkan di persidangan.
Di dalam SK itu pula, terdapat kejanggalan, diduga ada rekayasa penulisan bulan 10. Sebab, ditemukannya corat-coret seperti tinta pulpen, di angka 10. Hal itu makin meyakinkan kuasa hukum, terdapat dugaan rekayasa dalam dokumen SK KPA.
Keyakinan adanya rekayasa dokumen barang bukti itu makin menguat ketika saksi Farida, Kepala BKAD 2020 menyampaikan keterangan berbeda terkait regulasi penunjukan KPA.
Menurut Farida, KPA biasanya ditunjuk pada awal bulan. “Tidak ada pertengahan bulan, apalagi di akhir,” tegas Farida.
Selain manipulasi dokumen, dalam fakta sidang juga terungkap adanya rekayasa keterangan saksi saat proses pembuatan BAP di kejaksaan.
Adalah saksi Heldamayanti, staf Nahwa Umar yang bertugas di depan pintu masuk Sekda kala itu, diduga diintimidasi agar memberikan keterangan sesuai dengan keinginan jaksa.
Bahkan, Heldamayanti diancam ditersangkakan apabila tak mengikuti keinginan jaksa yang tercantum dalam BAP.
Dalam BAP tersebut, Heldamayanti menyampaikan bahwa terdakwa Ariyuli Ningsih Lindoeno beberapa kali masuk ke ruangan Bahwa Umar membawa berkas keuangan.
Padahal, sebagai staf Nahwa Umar, Heldamayanti adalah orang yang ditugaskan untuk mengantar dokumen-dokumen untuk ditandatangani sekda.
Siapa pun yang membawa dokumen ke ruangan sekda, harus melalui Heldamayanti. Tak ada seorangpun pun yang boleh menemui sekda secara langsung untuk membawa dokumen.
Pada sidang 26 Juni 2025, Heldamayanti memberikan kesaksian sebenarnya. Keterangan Heldamayanti disambut Ariyuli Ningsih Lindoeno. Ia menyampaikan hanya masuk ke ruangan sekda hanya 2 kali setahun. “Itu pun hanya mengecek kue dan makanan sekda,” ujar Ningsih.
Heldamayanti pun akhirnya mencabut keterangan dalam BAP jaksa, sambil berlinang air mata.
Peran Wali Kota Ditutupi Jaksa
JPU dianggap cenderung menutupi fakta persidangan. Terutama keterangan saksi mantan staf pribadi Siska Karina Imran, Asnita Malaka, terkait peran Wali Kota Kendari tersebut.
Dalam fakta persidangan dan BAP jaksa terungkap, Wali Kota Kendari, Siska Karina Imran menyuruh Asnita Malaka untuk mencubit-cubit angaran dari nomenklatur anggaran lain di Setda Pemkot Kendari pada 2020.
Pada sidang 26 Juni 2025, Asnita Malaka mengaku, sebagai membuat surat pertanggung jawaban (SPJ) fiktif untuk anggaran komunikasi karena ada perintah Wakil Wali Kota Kendari.
“Perintah tersebut dilaksanakan Asnita Malaka dengan memalsukan kwitansi sebagai nota-nota pembayaran anggaran makan minum Siska Karina Imran,” ujar Muswanto.
Beberapa kwitansi yang dipalsukan adalah nota fiktif pembayaran pulsa di toko seluler Cahaya Cell, yang dimiliki oleh mantan karyawan travel Wali Kota Kendari.
“Kegiatan itu berhasil menggasak uang negara sebesar Rp70 juta. Tapi saat ini harus dibebankan oleh tiga terdakwa yang seharusnya ini menjadi tanggung jawab Siska Karina Imran dan Asnita Malaka,” tegas Muswanto.
Selain itu, lewat pengakuan Asnita Malaka juga, Siska Karina Imran kerap menerimanya uang Rp28 juta yang masuk ke rekening pribadi Wali Kota Kendari saat ini tersebut.
“Padahal, aturan di dalam DPA, anggaran itu tidak boleh langsung ke rekening pribadi. Tapi melalui pertanggungjawaban pihak ketiga atau dirunut dari nota pembelanjaan,” urainya.
Sehingga, Muswanto menduga, Nahwa Umar dikambinghitamkan dalam perkara ini, karena ada pihak lain yang harus bertanggungjawab, termasuk Wali Kota Kendari.
“Maka kami kuasa hukum Nahwa Umar meminta hakim untuk menghadirkan Siska Karina Imran. Bukan untuk ditetapkan sebagai tersangka, tapi untuk dikonfrontir dengan Asnita. Kami ingin mengetahui, ke mana aliran uang ini,” jelasnya.
Kalau pun majelis hakim tak bisa menghadirkan Siska Karina Imran, maka pihaknya meminta agar Asnita Malaka ditetapkan sebagai tersangka, karena perannya signifikan yang seharusnya dilakukan jaksa sejak awal perkara ini.
“Tetapi jaksa seolah menihilkan dan berkesimpulan saat proses sidang tengah berjalan tanpa menunggu putusan hakim. Bahkan jaksa kami anggap sebagai kuasa hukum Siska Karina Imran. Ini yang kami sangat sayangkan,” tegasnya.
Sejak awal persidangan, jaksa tidak objektif dalam menerapkan tersangka dan tebang pilih dalam menegakan hukum.
Terbukti sesuai fakta pemeriksaan BAP ada pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan patut dijadikan tersangka, seperti Hardiana, Asnita Malaka, Jahuddin, dan Alimin.
Sebagai PPTK sejak 2 Januari 2020, Jahuddin dianggap tidak menjalankan tugasnya. Bahkan, Jahuddin dianggap punya niatan untuk menabrak aturan.
Pasalnya, Jahuddin sebagai PPTK berperan mengawasi keabsahan dokumen yang diajukan oleh pihak ketiga lewat pemeriksa barang. Salah satunya berita acara pemeriksaan barang.
Padahal, Jahuddin wajib memeriksa dokumen berita acara pemeriksa barang dari 5 kasubbag. Namun, hal ini tidak dilakukan sehingga terjadi pencairan anggaran menggunakan dokumen tidak lengkap.
Muswanto bilang, jaksa sebagai penuntut umum memiliki kewajiban untuk menjalankan proses hukum yang adil dan transparan.
Dalam konteks persidangan, jaksa diharapkan untuk menjunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Jaksa harus berasumsi bahwa terdakwa tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya melalui proses hukum yang sah.
“Jaksa harus menyajikan fakta-fakta yang relevan dalam persidangan secara objektif dan tidak memihak. Jaksa sebaiknya menghindari membuat pernyataan di media yang dapat mempengaruhi proses hukum atau merusak reputasi terdakwa sebelum putusan hakim dijatuhkan,” ungkapnya.
Jika jaksa menutupi fakta persidangan atau membuat komentar di media yang dapat mempengaruhi proses hukum, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran etika profesi dan berpotensi merusak integritas proses hukum.
“Jaksa harus menjalankan tugasnya dengan profesionalisme dan integritas yang tinggi untuk memastikan keadilan ditegakkan,” pungkasnya.
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢 𝐆𝐨𝐨𝐠𝐥𝐞 𝐁𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐮𝐥𝐭𝐫𝐚𝐢𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢.𝐢𝐝, 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢.