GREEN ECONOMY FOR SUSTAINABLE DEVELOPMENT: Strategi Kebijakan Industri Pertambangan yang Inklusif dan Inovatif

  • Bagikan
Sultra Ecofest tahun 2022. Foto: Istimewa.
Sultra Ecofest tahun 2022. Foto: Istimewa.

NASIONAL, sultrainformasi.id – Kegiatan Sultra Ecofest tahun 2022 yang diinisiasi melalui perwujudan serta peran KPwDN Provinsi Sulawesi Tenggara kembali digelar. Kegiatan pelaksanaan ini bertajuk “Mendorong Implementasi Ekonomi Hijau untuk Ekonomi yang Berkelanjutan”.

Kompetisi esai yang merupakan salah satu agenda kegiatan dalam Sultra Ecofest tahun 2022 dimaksudkan untuk membangun pola pikir masyarakat yang berbasiskan riset.

Melalui kagiatan ini, diharapkan dapat diperoleh insight dari akar permasalahan yang riil dan juga solusi- solusi inovatif dan aplikatif untuk kemajuan dan kebangkitan ekonomi yang berbasiskan kerangka pikir yang teruji, best practice, lessons learned, serta relevan untuk diimplementasikan di Sulawesi Tenggara.

Pada kesempatan ini, heni ardianto sebagai masyarakat Indonesia yang berasal dari Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah mengikuti kegiatan Sultra Ecofest tahun 2022 tersebut dengan mengangkat sebuat judul “Green Economy For Sustainable Development: Strategi Kebijakan Industri Pertambangan Yang Inklusif Dan Inovatif”.

Gagasan tersebut dilatarbelangi oleh adanya potensi Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia, khususnya di provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang menjadi salah satu daerah pertambangan nikel terbesar yang kontribusi terhadap pendapatan Sulawesi Tenggara. Dilansir EITI Indonesia, keberadaan pertambangan tersebut telah berkontribusi pada dana bagi hasil (DBH) dengan rata-rata senilai Rp 123,41 miliar per tahun sepanjang 2018-2021.

DBH pertambangan merupakan penyumbang terbesar DBH SDA Sultra, yakni sebesar 96,7%, dengan Kabupaten Konawe Utara sebagai Wilayah yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (WIUP) paling luas.

Melihat potensi yang sangat besar tersebut, tata kelola pemanfaatan yang tepat sangat diperlukan agar penerimaan dari sektor pertambangan sejatinya dapat digunakan sebagai instrumen untuk menanggulangi permasalahan daerah seperti kemiskinan, pertumbuhan ekonomi serta pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan agar dapat menjangkau masyarakat lingkar tambang sebagai pihak yang tinggal di sekitar wilayah industri pertambangan dan terkena dampak langsung dari operasi pertambangan.

Meskipun demikian, pertambangan juga telah meresahkan kehidupan masyarakat sekitar, hal ini terkait dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang menghantui rumah mereka.

Banjir, pencemaran air dari limbah pertambangan, pencemaran udara dari debu dari kegiatan pertambangan merupakan peristiwa yang sering dialami oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pertambangan Sulawesi Tenggara.

Selain itu, pertambangan di Sulawesi Tenggara masih membahas sejumlah persoalan yang tidak menguntungkan negara, hal ini terkait dengan banyaknya perusahaan tambang ilegal, penggelapan pajak, penjualan bahan tambang ilegal, tenaga kerja asing ilegal yang sering ditemukan dalam kegiatan pertambangan.

Oleh karena itu pemerintah perlu memperbaiki tata kelola kebijakan pertambangan, sehingga dapat memberikan manfaat yang lebih baik bagi masyarakat, pemerintah dan dunia usaha yang inklusif dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan sebagai tujuan untuk mewujudkan green economy dalam menggerakkan perekonomian khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Pada pengelolaannya, lingkungan menjadi bagian yang sangat penting untuk diperhatikan agar dapat meminimalisir dampak negatif yang dapat terjadi kapan saja.

Dengan demikian, manajemen lingkungan dalam lingkaran pertambangan harus dikelola secara berkesinambungan dengan melibatkan berbagai stakeholders yang memiliki potensi dalam pembangunan daerah.

Nilai tambah lainnya adalah nilai daerah yang dimaksudkan sebagai manfaat bagi masyarakat dengan melakukan pemberdayaan sebagai bagian dari fokus program CSR untuk menuju ketahanan daerah melalui interaksi yang kuat dan positif antara perusahaan pertambangan dan masyarakat setempat.

Dengan demikian, maka dapat melengkapi manfaat CSR dalam manfaat kegiatan pertambangan khususnya pada perekonomian baik di tingkat nasional maupun daerah.

Aktivitas penambangan yang terjadi di Sulawesi Tenggara mengakibatkan adanya fenomena alih fungsi lahan, pembukaan hutan dan berkurangnya sumber air untuk pertanian dan kegiatan lainnya.

Sehingga perlu adanya langkah strategis untuk mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan dan terwujudnya ekonomi hijau (green economy) di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sebagai kebijakan baru dan inovatif yang komprehensif dan ambisius dalam pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur, Green Economy (GE) dapat menjadi langkah strategis untuk mencapai keselarasan antara kelestarian lingkungan dan stabilitas ekonomi.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dalam memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam sebagai cadangan investasi dimasa depan.
Transformasi menuju green economy yang inklusif diperlukan untuk menetapkan kebijakan, membangun kondisi yang mendukung dan mendorong motivasi ekonomi antara pemerintah dan sektor

ekonomi melalui jalur ekonomi hijau, bersih dan rendah karbon. Fase ini akan menyesuaikan konfigurasi pekerjaan di beberapa sektor, yang akan dibutuhkan untuk melatih dan mendukung tenaga kerja untuk pekerjaan yang berkaitan erat dengan lingkungan.

Padahal, investasi di sektor hijau, seperti peralatan hemat energi, energi terbarukan, transportasi umum, dan infrastruktur hijau akan menciptakan peluang yang lebih baik yang mencakup pertumbuhan berkelanjutan, peningkatan daya saing, penyelamatan dan penciptaan lapangan kerja, pemulihan kualitas dan kesusilaan pekerjaan, dan mengurangi kemiskinan, sambil mengatasi masalah lingkungan yang serius.

Dengan demikian, dapat dirumuskan konsep strategis yang dapat digunakan sebagai alternatif atau rekomendasi yang dapat dipertimbangkan dalam mewujudkan green economy di Provinsi Sulawesi Tenggara untuk mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Green economy akan membutuhkan upaya yang berkelanjutan dari pembuat kebijakan termasuk pemerintah dan pengelola tambang untuk mempertimbangkan kembali dan mendefinisikan kembali ukuran kelayakan lingkungan demi kemakmuran dan kesejahteraan.

Green economy memiliki tiga pilar utama, yakni Eco-Environment, Socio-Environment, dan Socio-Economic yang menjadi katalisator untuk mentransformasikan ekonomi sebelumnya menuju green economy yang inklusif dan mampu mendorong pembangunan berkelanjutan (sustainable development/ SD) dalam kebijakan regional, nasional dan internasional.

Dengan demikian, ketiga pilar tersebut dapat menjadi dasar pengambilan keputusan agar menciptakan sinergi yang inklusif dan inovatif baik secara perencanaan maupun implementasi di sektor pertambangan dalam mendukung adanya pembangunan yang berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Tenggara.

Tulisan: Heni Ardianto

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *