KONAWE UTARA, SUTRAINFORMASI.COM – Ratusan Kepala Keluarga (KK) di Desa Waturambaha, Kecamatan Lasolo Kepulauan, Kabupaten Konawe Utara (Konut), Sulawesi Tenggara (Sultra) tengah menghadapi permasalahan serius. Sebab, puluhan tahun bermukim di kawasan hutan, ia tidak mendapatkan kejelasan dari pihak terkait, diapun dibuat cemas dan bingung.
Bagaimana tidak, setelah bermukim selama puluhan tahun, mereka baru mengetahui bahwa pemukiman mereka termasuk dalam kawasan hutan. Padahal, pemerintah telah menetapkan lokasi perumahan dan perkebunan ini sebagai hasil relokasi warga dari pulau Labengki Besar.
Oleh karena itu, para warga di desa tersebut merasa khawatir ketika hendak melegalkan status tanah tempat tinggal mereka. Sehingga, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak menerbitkan sertifikat tanah bagi warga karena status tanah tersebut masih tergolong sebagai kawasan hutan.
Salah satu dari ratusan KK yang tinggal di kawasan tersebut, Wakir mengatakan setelah pihaknya memeriksa peta, BPN menolak.
“Katanya, kecuali status kawasan ini diturunkan terlebih dahulu baru bisa diberikan sertifikat,” kata Wakir, Sabtu (30/09/2023).
Wakir menuturkan kedatangan mereka ke Desa Waturambaha setelah pemindahan dari Desa Pasir Panjang pada tahun 1996-1997. Desa Pasir Panjang (Waturambaha) ditetapkan sebagai perkampungan melalui program Kementerian Sosial.
“Pada tahun 1998, desa ini dijadikan desa persiapan. Lahan ini sudah dibagikan kepada masyarakat dengan lokasi pekarangan rumah seluas 35 meter, ditambah lahan dua hektar untuk perkebunan bagi setiap KK,” katanya.
Atas problem tersebut, Wakir dan warga lainnya merasa bingung ketika status pemukiman mereka berubah selama program sosial tersebut.
Awalnya diketahui status kawasan itu diturunkan menjadi area penggunaan lain (APL). Namun, belakangan ini, status lahan pemukiman dan perkebunan warga kembali dianggap sebagai kawasan hutan.
“Kami merasa bingung dengan pemerintah. Kami dipindahkan ke sini dan disuruh tinggal di sini. Inilah yang membuat kami kecewa,” ujar dia.
Sementara itu, salah satu warga di pemukiman tersebut, Muslimin juga menyebutkan bahwa tak hanya pemukiman dan perkebunan warga, ternyata fasilitas pemerintah seperti bangunan sekolah juga berada di atas tanah kawasan hutan produksi terbatas (HPT).
“Kami sangat kecewa. Bukan hanya lahan dua yang dibagikan, bahkan tempat tinggal kami berada di kawasan hutan. Kami hanya menunggu waktu diusir dari kawasan hutan,” kata Muslimin sambil memeperlihatkan wajah kekesalannya, Sabtu (30/09/2023).
“Setelah bermukim puluhan tahun, ternyata lahan perkebunan yang diberikan oleh Kementerian Sosial berada di kawasan hutan produksi terbatas,” sambungnya.
Tak hanya, Wakir dan Muslimin kegundahan hati juga dialami oleh seorang warga di kawasan tersebut, Halim. Halim mengungkapkan bahwa rumah tempat tinggal keluarganya juga belum mendapatkan legalitas resmi dari BPN. Status tanah yang masih termasuk dalam HPT menjadi alasan utama.
“Kami ingin mengurus sertifikat, namun tidak bisa kecuali status kawasannya diturunkan terlebih dahulu,” ujar Halim, Sabtu (30/09/2023).
“Kami berharap agar polemik ini segera terselesaikan. Kami merasa kasihan sebagai warga yang telah dipindahkan ke sini, dan sekarang kami merasa tidak nyaman karena tanah tempat tinggal kami masih memiliki status kawasan hutan produksi terbatas,” pungkasnya.
Ketiga narasumber yang mewakili ratusan warga di kawasan hutan tersebut berharap agar Kementerian Kehutanan segera menurunkan status hutan tempat pemukiman dan perkebunan tempat mereka tinggal. Hal ini diharapkan dapat mengatasi kekhawatiran dan kebingungan warga.
Sebagai informasi, sebagian besar warga Waturambaha bekerja sebagai nelayan atau memilih menjadi karyawan perusahaan pertambangan di desa mereka.
𝐉𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐥𝐮𝐩𝐚 𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠𝐢 𝐛𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢 𝐆𝐨𝐨𝐠𝐥𝐞 𝐁𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐬𝐮𝐥𝐭𝐫𝐚𝐢𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢.𝐜𝐨𝐦, 𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐝𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢.