Kuasa Hukum Bongkar Dugaan: Dana BBM Kantor Penghubung Sultra Dinikmati Eks Gubernur Ali Mazi dan Sekda!

Kuasa Hukum Bongkar Dugaan: Dana BBM Kantor Penghubung Sultra Dinikmati Eks Gubernur Ali Mazi dan Sekda. Foto: Istimewa.

KENDARI, SULTRAINFORMASI.ID – Kasus dugaan korupsi anggaran Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pelumas Kantor Badan Penghubung Sulawesi Tenggara (Sultra) di Jakarta memasuki babak baru. Tim Kuasa Hukum Wa Ode Kanufia Diki (WKD), tersangka dalam kasus ini, menuding mantan Gubernur Sultra Ali Mazi, anaknya, serta Sekretaris Daerah (Sekda) Sultra Asrun Lio ikut menikmati dana yang menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ketua Tim Kuasa Hukum WKD, Aqidatul Awwami, membantah keras tudingan bahwa kliennya menikmati dana hasil dugaan korupsi tersebut.

“Tidak dinikmati oleh Ibu WKD, tidak ada ditemukan dalam bentuk barang, mengalir ke rekening, bahkan sampai ke pencucian uang itu tidak ada ditemukan,” katanya saat ditemui awak media di salah satu kafe di Kota Kendari, Selasa (28/10/2025).

Menurut Aqidatul, temuan BPK periode Januari–Desember 2023 senilai Rp560 juta justru digunakan untuk kepentingan pribadi mantan Gubernur Sultra Ali Mazi, anaknya, serta Sekda Asrun Lio beserta keluarga.

“Kepentingan pribadi itu seperti keperluan rumah tangga di rumah pribadi Ali Mazi di Jakarta bayar listrik, belanja kebutuhan anaknya, perbaikan mainan, bayar pembantu rumah tangga, hingga antar-jemput. Bahkan anak bungsu Ali Mazi kalau belanja di Indomaret, sekali belanja bisa Rp10 juta sampai Rp20 juta,” ungkapnya.

Ia juga menyebut nama Alvin, anak Ali Mazi yang kini menjabat Bupati Buton.

“Kalau Alvin dari Singapura, dia telepon siapa yang mau jemput dan pakai mobil apa. Semua ditentukan olehnya, dan biayanya diambil dari anggaran itu,” sambung Aqidatul.

Tak hanya itu, Sekda Sultra Asrun Lio juga disebut ikut memanfaatkan anggaran untuk kepentingan pribadi.

“Anggaran itu bahkan dipakai untuk membiayai acara ulang tahun Sekda,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bagaimana anggaran tersebut disiasati agar tetap terlihat formal dalam administrasi.

“Misalnya belum ada uang dari pemerintah, tapi ada kebutuhan pribadi pejabat. Mereka cari uang dulu atau berutang. Nanti setelah pencairan, bendahara membayar untuk menutupi pengeluaran sebelumnya,” terangnya.

Aqidatul menuturkan, ketika Yusra Yuliana Basra (YY) menggantikan WKD sebagai Pelaksana Tugas Kepala Kantor Badan Penghubung Sultra pada Maret 2023, muncul pola baru dengan menggunakan rekening penampung atas nama Ridho.

“Modus belanja BBM dan pelumas itu justru muncul setelah klien kami tidak lagi menjabat. Bahkan ada dokumen Januari 2023 yang ditandatangani bukan oleh WKD, tapi oleh tersangka YY,” katanya.

Ia juga mengungkap alasan pemecatan WKD dari jabatan kepala kantor. “Klien kami diberhentikan karena tidak mau lagi mempertanggungjawabkan hal-hal yang tidak benar. Ketika mulai membangkang, dia langsung diganti,” jelasnya.

Bahkan, kata Aqidatul, WKD sempat meminta saran kepada Sekda Sultra terkait pertanggungjawaban anggaran di luar ketentuan.

“Pak Sekda cuma bilang, ‘pintar-pintar kalian lah’. Dan itu sesuai dengan pernyataan dua tersangka lainnya. Mereka diangkat hanya formalitas, tapi sebenarnya untuk jadi pelayan pribadi,” bebernya.

Aqidatul mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra untuk turut memeriksa pihak-pihak yang disebut dalam kesaksian kliennya.

“Kami berharap Kejati Sultra juga memeriksa eks Gubernur Sultra, karena dana itu digunakan untuk kepentingan pribadinya,” tegasnya.

Anggota Tim Kuasa Hukum WKD, Jusmang Jalil, menambahkan bahwa praktik kolusi di Kantor Penghubung Sultra sudah terjadi sejak 2020, tak lama setelah kliennya dilantik.

Ia menceritakan, dua bulan setelah menjabat, WKD dipanggil oleh Gubernur Ali Mazi ke Rumah Jabatan Gubernur Sultra di Kendari.

“Dalam pertemuan itu ada juga mantan Kepala BPKAD Hj. Isma dan Kepala Bappeda Robert. Ali Mazi menyampaikan agar anggaran sebesar Rp3 miliar bisa masuk ke pagu Kantor Badan Penghubung Sultra di Jakarta,” beber Jusmang.

Menurutnya, pagu resmi kantor tersebut pada 2020 hanya sekitar Rp1,3 miliar, namun setelah “usulan tambahan” dari Ali Mazi, total pagu naik menjadi Rp4,3 miliar.

“Anggaran itu tidak melalui pembahasan DPRD. Ini inisiatif Gubernur sendiri dan diaminkan oleh pejabat terkait,” jelasnya.

Praktik itu, kata Jusmang, berlanjut hingga 2023 dengan besaran anggaran yang bervariasi.
“Kalau diusut sejak 2020, kerugian negara bisa jauh lebih besar. Tapi temuan BPK 2020–2022 justru nihil,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup