Sarung Muna: Warisan Kerajaan yang Teranyam dari Benang, Warna, dan Marwah Leluhur

Sarung Muna: Warisan Kerajaan yang Teranyam dari Benang, Warna, dan Marwah Leluhur. Foto: Istimewa.

SULTRA, SULTRAINFORMASI.ID – Di balik setiap helaian benang Sarung Muna, tersimpan jejak sejarah panjang dan nilai budaya yang tak lekang oleh waktu. Sarung tradisional ini bukan sekadar kain, tetapi simbol kebanggaan masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara yang diwariskan dari masa kejayaan kerajaan pada abad ke-18 Masehi.

Dulu, Sarung Muna bukan hanya busana adat, tetapi juga menjadi bagian dari pakaian bela diri Ewa Muna seni silat khas Muna yang dikenal gagah dan berwibawa. Kala itu, hanya keluarga kerajaan di Kecamatan Lasalepa yang berhak mengenakannya. Sarung dikenakan di pinggang, dipadukan dengan baju dan celana hitam, melambangkan keberanian sekaligus kehormatan para bangsawan Muna.

Namun, keindahan Sarung Muna tidak hanya terletak pada nilai historisnya, melainkan juga pada proses pembuatannya yang sarat filosofi dan ketelatenan. Sarung ini melalui dua tahapan utama: Hani atau Kasoro proses menyusun benang, dan menenun untuk menciptakan motif khas yang menjadi identitas setiap kain.

Bahan pewarna yang digunakan semuanya alami. Warna hitam berasal dari kayu pohon nangka, sementara hijau diperoleh dari daun mangga. Sementara itu, benangnya dibuat dari sutra dan kapas yang dipintal secara tradisional. Setiap proses dikerjakan dengan ketelitian tinggi dan diwariskan turun-temurun oleh para ibu penenun di tanah Muna.

Menurut penelitian Efendi, Tuwu, dan Tanzil (2020) dalam Jurnal Kesejahteraan dan Pelayanan Sosial, kegiatan menenun Sarung Muna bahkan menjadi salah satu strategi ekonomi rumah tangga di Desa Lapolea, Muna Barat. Aktivitas ini tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menopang kehidupan keluarga para penenun.

Proses Hani/Kasoro sendiri membutuhkan alat-alat tradisional seperti langku (dua batang balok kayu), jhangka (sisir bambu), kae dan ati sebagai pengencang benang, hingga kangkai tulang rusuk sapi yang berfungsi sebagai pengait benang. Semua alat ini digunakan dengan keterampilan dan ketepatan yang diwariskan secara lisan dan praktik dari generasi ke generasi.

Motif Sarung Muna pun sangat beragam dan sarat makna. Ada 15 motif yang dikenal, di antaranya bharalo, samasili, panino toghe, bhotu, bhia-bhia, ledha, finda ngkonini, mango-manggopa, dadhah lima, lante-lante, jhalima, gunung-gunung, kambheano bhanggai, kaparanggigi, dan katamba ghawu. Setiap motif memiliki filosofi tersendiri ada yang melambangkan keteguhan, kesuburan, hingga keindahan alam Muna.

Penelitian Dinda, Aman, dan Setiawan (2019) dalam jurnal Patanjala menyebut bahwa setiap motif Sarung Muna merupakan simbol nilai moral masyarakat, mencerminkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tak heran jika proses menenun bagi masyarakat Muna dianggap sebagai bentuk doa dan penghormatan terhadap leluhur.

Sarung Muna bukan sekadar kain ia adalah karya tangan perempuan Muna yang menganyam sejarah, cinta, dan kebanggaan dalam setiap helai benangnya. Sebuah warisan yang menegaskan bahwa jati diri budaya Sulawesi Tenggara tak akan pernah pudar, selama generasi mudanya tetap menghargai warisan leluhur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup