Kenapa Warga Lebih Percaya Info dari Sosial Media daripada Pemerintah?
OPINI, SULTRAINFORMASI.ID – Di zaman ketika informasi bergerak begitu cepat, saya semakin sering melihat kenyataan bahwa masyarakat lebih percaya informasi yang beredar di sosial media daripada penjelasan resmi dari pemerintah. Setiap kali ada isu baru, seperti bencana, kecelakaan, atau kebijakan publik, orang-orang langsung mencari jawabannya di TikTok, Instagram, atau X. Fenomena ini bukan terjadi tanpa alasan. Ada jarak yang semakin besar antara publik dan lembaga resmi yang seharusnya menjadi sumber informasi paling dapat dipercaya.
Salah satu penyebab paling jelas adalah soal kecepatan. Di sosial media, informasi bisa menyebar hanya dalam hitungan detik. Warga yang berada di lokasi kejadian langsung merekam dan mengunggah, membuat publik bisa melihat situasi secara real time. Sementara itu, informasi dari pemerintah biasanya datang lebih lama karena melewati proses verifikasi, draft laporan, hingga persetujuan pejabat. Dalam situasi genting, publik tidak punya waktu untuk menunggu penjelasan resmi yang datang belakangan. Bagi mereka, informasi cepat lebih penting, meskipun belum tentu akurat.
Selain itu, masyarakat merasa bahwa apa yang disampaikan oleh pengguna sosial media lebih jujur dan apa adanya. Orang yang mengunggah video atau cerita tidak menggunakan bahasa birokratis. Mereka menyampaikan sesuai pengalaman dan apa yang mereka lihat langsung. Berbeda dengan pernyataan pejabat yang sering dianggap terlalu formal, berhati-hati, dan kadang seperti menutupi hal-hal tertentu. Suara warga yang terdengar spontan terasa jauh lebih mudah dipercaya daripada konferensi pers yang penuh kalimat terstruktur.
Masalah kepercayaan ini sebenarnya tidak muncul tiba-tiba. Ada pengalaman-pengalaman masa lalu yang membuat publik merasa kurang yakin dengan informasi dari pemerintah. Beberapa kejadian sebelumnya membuat masyarakat merasa bahwa tidak semua informasi disampaikan secara transparan atau tepat waktu. Luka-luka kecil ini berkumpul menjadi kekecewaan yang lebih besar. Bagi generasi saya, Gen Z, kepercayaan bukan sesuatu yang bisa diminta begitu saja. Sekali rusak, butuh waktu lama untuk membangunnya lagi.
Yang memperkuat fenomena ini adalah cara kerja algoritma sosial media. Setiap pengguna hanya akan melihat konten yang sesuai dengan minat, opini, dan interaksi mereka. Semua yang muncul di timeline terasa relevan dan “benar”, padahal itu hanya hasil seleksi algoritma, bukan bukti kebenaran informasi. Sayangnya, informasi pemerintah jarang masuk ke ruang ini secara natural, sehingga publik lebih terpapar pada informasi non-resmi daripada sumber yang sebenarnya sah.
Masalah lainnya adalah pemerintah sering bicara setelah isu terlanjur viral. Ketika publik sudah heboh dan opini sudah terbentuk kuat di sosial media, pernyataan resmi yang datang belakangan sulit mengubah persepsi. Akhirnya muncul anggapan bahwa pemerintah hanya merespons ketika keadaan sudah panas, bukan sejak awal untuk mencegah kesalahpahaman.
Solusi untuk memperbaiki kondisi ini bukan hanya soal mempercepat rilis informasi, tetapi juga memperbaiki cara komunikasi. Pemerintah perlu hadir lebih aktif di ruang digital dengan gaya bahasa yang lebih manusiawi dan mudah dipahami, bukan hanya formal dan kaku. Transparansi juga harus ditunjukkan sejak awal, bukan setelah isu meluas. Melibatkan media lokal, komunitas, dan kreator juga bisa membantu menyebarkan informasi dengan cara yang lebih dekat dengan publik. Dan yang tidak kalah penting adalah meningkatkan literasi digital agar masyarakat tidak mudah percaya pada informasi yang belum jelas sumbernya.
Pada akhirnya, masyarakat sebenarnya tidak menolak informasi pemerintah. Mereka hanya ingin informasi yang cepat, jelas, jujur, dan konsisten. Selama itu belum terpenuhi, sosial media akan tetap menjadi pilihan utama bagi banyak orang dalam mencari kebenaran, meskipun di dalamnya penuh risiko misinformasi. Ini menjadi PR besar sekaligus tantangan bagi pemerintah untuk membangun kembali kepercayaan yang sempat hilang.
Penulis: Zaskia Sanjani Putri, Mahasiswa Jurnalistik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Halu Oleo. Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh Ketua Prodi, Marsia Sumule G. S.Sos.,M.I.Kom.









